Sedikitnya ada tiga alasan pentingnya Kurikulum 2013 (K13). Pertama, mengacu pada buku Six Simple Rules: How To Manage Complexity Without Getting Complicated(Morieux and Tollman, 2014) yang menyebutkan tingkat kompleksitas dalam periode 20-30 tahun meningkat 35 kali lipat. Artinya, persoalan dan solusi di masa depan bertambah rumit.
Kedua, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menghadirkan kompleksitas tersendiri, sehingga diperlukan orang-orang yang berpikir kritis seperti disinggung dalam buku Critical Thinking: Tools for Taking Charge of Your Prefessional and Personal Life(Paul and Elder, 2014). Pada dua alasan pertama inilah, maka anak-anak harus kita ajari mampu berpikir kritis dan menyelesaikan persoalan yang tambah rumit.
Alasan ketiga, pendekatan partisipatory teaching methode dalam K13 memberikan hasil yang jauh lebih baik dibanding passive teaching methode. Metode pembelajaran partisipasi yang mencakup diskusi kelompok, praktik di laboratorioum atau kerja sosial, dan presentasi, daya serapnya terhadap siswa 50-90 persen. Karena itu, K13 mengedepankan observasi, bertanya, bereksperimen, berpikir nalar, dan menyampaikan pendapat.
Terlepas dari kritik, konsep yang kita kembangkan dalam K13, diyakini bisa menjawab kompleksitas persoalan di masa depan.
Ada hal yang sangat menggembirakan, hasil survei terhadap narasumber, instruktur nasional, dan guru sasaran, terkait keyakinan implementasi K13, menyatakan diyakini akan berhasil. Hasil survei tersebut, baik di jenjang SD, SMP, dan SMA/SMK, berkesimpulan sama.
Sementara terkait terhadap cara penilaian peserta didik yang mengalamii perubahan, terutama berkaitan dengan pengolahan nilai yang harus dilakukan secara otentik terus menerus, sepanjang proses pembelajaran, bagi sebagian besar guru memang masih membingungkan, karena selama ini yang mereka pahami, penilaian selalu berkaitan dengan angka-angka atau kuantitatif.
Tentu ini tidak menyurutkan dalam hal implementasi, karena aspek lainnya seperti cara pembuatan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan konsep, serta proses pembelajaran saintifik angka rata-ratanya cukup baik dipahami.
Sebelumnya, hasil sensus pelaksanaan K13 di 6.329 sekolah pada pelaksanaan tahun pertama 2013, menunjukkan hasil positif. Sedikitnya ada delapan hal yang disensus waktu itu, yakni daya nalar, hasrat membaca, pembentukan karakter, keaktifan bertanya dan berpendapat, semangat belajar, kreativitas, proses pembelajaran, dan motivasi melakukan observasi. Dari delapan pertanyaan sensus, poin proses pembelajaran memiliki angka rata-rata 90 persen.
Inilah yang menjadi pegangan kuat dan komitmen untuk terus mengimplementasikan K13. Seandainya hasil sensus itu di bawah, mungkin akan lain jalan ceritanya.
K13 dirumuskan bermula dari potensi, permasalahan, dan tantangan yang dihadapi, baik bersifat evaluatif maupun antisipatif, termasuk fenomena negatif (tawuran, korupsi), hasil PISA dan TIMSS. Dari sinilah K13 berisikan kompetensi lulusan, isi, proses pembelajaran dan penilaian. Keempat aspek ini dikembangkan dalam K13.
Dari sisi kompetensi lulusan, anak-anak, kita harapkan memiliki keutuhan kompetensi yaitu pengetahuan, keterampilan dan sikap. Dari sisi isi, kita lakukan penataan ulang materi pembelajaran, dipeluas dan diperdalam. Kedudukan bahasa Indonesia, PPKN dan Sejarah kita pertegas, termasuk kita tambah Agama dan Budi Pekerti.
Proses pembelajaran kita gunakan pendekatan saintifik-partisipatif dengan anak dilatih dan dibiasakan untuk mengamati, dan bertanya, mencoba dan bernalar, hingga mengkomunikasikan baik lisan maupun tulisan. Sedangkan penilaian pun dikembangkan, tidak semata kuantitatif-numerik, tapi juga kualitatif-diskriptif.
Sebagai catatan akhir perlu ditegaskan kembali bahwa K13 merupakan kebijakan mendasar. Sebab menyangkut rencana aksi untuk membangun Indonesia ke depan. Pendidikan karakter yang dibentuk pada K13 sejalan dengan Revolusi Mental yang tengah didengungkan Presiden dan Wakil Presiden terpilih Joko Widodo dan Muhammad Jusuf Kalla. (***)
0 komentar:
Posting Komentar