Oleh, Agus Maulana
Forum Peduli Masyarakat Pariwisata Indonesia (FPMPI)
“Pengembangan pariwisata didasarkan pada kriteria keberlanjutan yang secara ekologis harus dikelola dalam jangka panjang, dengan tetap memperhatikan aspek ekonomi, etika dan sosial masyarakat.” Demikian bunyi deklarasi “ Piagam Pariwisata Berkelanjutan” (1995)
Dalam beberapa tahun terakhir, pengaruh globalisasi telah membawa
perubahan besar bagi bangsa Indonesia, baik dalam bidang politik, ekonomi
maupun sosial-budaya. Gejala itu antara lain ditandai oleh semakin meluasnya
paham-paham baik berupa neokolonialisme dengan kekuatan ekonomi, demokratisasi,
maupun menaiknya isu pelestarian lingkungan. Internalisasi paham tersebut
dimungkinkan sebagai akibat logis dari interaksi antar budaya yang mampu
menerobos batas-batas ideologis dan geopolitik.
Sinyalemen tersebut juga tidak luput melanda dunia kepariwisataan di
Indonesia. Beberapa faktor dominan dapat dicatat misalnya berupa aliran modal
dan orang yang berpengaruh besar pada penyelenggaraan pariwisata.
Ketidakmampuan mengendalikan kecenderungan tersebut pada gilirannya telah
memunculkan tanggapan bahwa ketergantungan sektor pariwisata pada modal asing
yang akhirnya hanya menguntungkan individual. Konsekuensinya, penyelenggaraan
pariwisata di setiap daerah justeru akan membawa kegagalan bagi pembangunan itu
sendiri.
Namun, mengingat pariwisata merupakan sektor penting baik sebagai
kontributor perolehan devisa negara maupun sebagai stimulan perluasan lapangan
kerja dan peningkatan pendapatan masyarakat, penyelenggaran kepariwisataan
diharapkan mampu menjadi sektor pembangunan yang memiliki kehandalan untuk
mengeluarkan Indonesia dari krisis ekonomi dan mampu menunjang program
pembangunan berkelanjuta disetiap daerah.
Sejak tahun 2004 isu pembangunan berkelanjutan (sustainable
development) mulai dibicarakan di kalangan para ahli. Konsep pengembangan
berkelanjutan tersebut diartikan sebagai
proses pembangunan yang mengoptimalkan manfaat dari sumberdaya alam dan
sumber daya manusia. Nilai keberlanjutan itu bukan hanya menyangkut aspek fisik
tetapi juga aspek sosial. Untuk
mewujudkan pola pembangunan berkelanjutan, diperlukan tiga langkah
kebijakan :
Yaitu : Pengelolaan Sumberdaya Alam (resources management), Pengelolaan Dampak Pembangunan terhadap
Lingkungan, serta Pembangunan Sumber Daya Manusia (human resources
development).
Berdasarkan konteks pembangunan berkelanjutan, dapat didefinisikan
sebagai pembangunan kepariwisataan yang sesuai dengan kebutuhan wisatawan
dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan dan memberi manfaat baik bagi
masyarakat sekarang maupun yang akan datang.
Gejolak pariwisata Indonesia sejak lima tahun terakhir semakin
memperlihatkan perlunya mewujudkan Prinsip pariwisata berkelanjutan yang
berbasis pada Kemasyarakatan.
Oleh karena pariwisata merupakan kegiatan yang multisektor, adanya
kesamaan prinsip diharapkan dapat memberi orientasi pengembangan yang sama
pula. Prinsip pariwisata berkelanjutan
tersebut adalah Prinsip kebijakan
pariwisata berkelanjutan Berbasis kemasyarakatan
Prinsip ini menekankan keterlibatan masyarakat secara langsung atas
seluruh kegiatan perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pariwisata yang
dilakukan di daerahnya. Pengembangan pariwisata berkelanjutan menempatkan
masyarakat sebagai faktor utama. Sebagai salah satu pemangku kepentingan
(stakeholder) masyarakat berpartisipasi secara langsung dalam pengambilan
keputusan. Dengan konsep pariwisata
berbasis masyarakat, penyelenggaraan kepariwisataan diarahkan untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui upaya konservasi serta pemanfaatan
sumberdaya alam. Bentuk-bentuk kegiatan berbasis masyarakat pelaksanaannya
dapat dilakukan melalui pemilikan sendiri sarana dan prasarana pariwisata oleh
masyarakat setempat, kemitraan dengan pihak swasta dan sewa lahan atau
sumberdaya lainnya baik oleh masyarakat maupun kerjasama dengan swasta.
Tetapi untuk mendukung prinsip tersebut, diperlukan tiga indikator
utama sebagai alat ukur penyelenggaraan pariwisata berkelanjutan. Secara garis
besar, indikator keberlanjutan tersebut adalah: kelestarian lingkungan,
perbaikan kondisi sosial-budaya dan peningkatan ekonomi masyarakat.
Perubahan perubahan prinsip kebijakan ini akan membawa implikasi luas, baik pada kegiatan
kepariwisataan itu sendiri, maupun bagi pengelolaan lingkungan alam, sosial dan
budaya sebagai sumberdaya yang menjadi andalan utama kegiatan pariwisata.
Dalam perkembangannya, kebijakan pariwisata
semakin disadari memiliki kelemahan-kelemahan dalam konteks pembangunan
berkelanjutan. Sebagai contoh misalnya Undang-Undang No. 9 Tahun 1999, secara obyektif-empiris bersifat
sentralistis. Pada Bab IV pasal 31-33
masih tertera istilah-istilah ”pembinaan”, “pengaturan”, “bimbingan”, dan
“pengawasan”. Di samping itu, masih ada muatan pembatasan peran masyarakat
dalam pengambilan keputusan, baik pada penyampaian peran, pendapat, maupun
pertimbangan (pasal 30 ayat 2). Pemerintah pusat juga hanya menyerahkan sebagian urusan kepada
pemerintah daerah (Pasal 34, ayat 1).
Meskipun prinsip-prinsip pariwisata berkelanjutan
dapat ditemukan dalam berbagai kebijakan sektoral, namun dalam pelaksanaannya
kepentingan sektoral masih menonjol. Keterpaduan kebijakan sektoral belum
terlihat, sehingga berpotensi menimbulkan kesalahpahaman pada tingkat
pelaksanaan. Oleh karena itu, diperlukan
lembaga yang berperan mengkoordinasikan, mensinkronisasikan, mensinergikan
kebijakan sektoral agar dapat menghasilkan dampak pariwisata berkelanjutan.
Dalam penyelenggaraan
Prinsip kebijakan pariwisata berkelanjutan Berbasis kemasyarakatan. ada empat peran dari stakeholder yaitu pemerintah (pemerintah pusat sebagai
fasilitator dan pemerintah daerah sebagai dinamisator), swasta dan masyarakat
sebagai operator, serta pemerintah, swasta dan masyarakat sebagai pengguna
jasa. Ke empat peran ini yang harus saling mendukung menurut fungsi, skala,
pengendalian, sifat kelembagaan, bentuk kelembagaan dan spesifikasinya.
Dengan menempatkan para stakeholder pada peran dan fungsinya
masing-masing dalam penyelenggaraan pariwisata, maka perlu adanya
komponen-komponen yang dapat mengintegrasikan peran tersebut dalam sistem
kepariwisataan yang terpadu. Komponen-komponen tersebut adalah menyangkut:
kewirausahaan, kecenderungan global, ketenagakerjaan, masyarakat, kebijakan,
dukungan untuk berperan keuangan, organisasi dan kepemimpinan
Akhirnya, peran Masyarakat Lokal/Adat dan LSM menjadi bagian
terpenting dalam penyelenggaraan
pariwisata. Masyarakat seringkali termarjinalkan, baik Oleh karena itu, dalam
proses penyelenggaraan kepariwisataan, masyarakat harus mampu:
1. berpartisipasi dalam
pengendalian pembangunan
2. melakukan pemantauan terhadap kegiatan
pariwisata yang berpotensi menimbulkan dampak buruk terhadap lingkungan alam dan
sosial-budaya
3. melakukan advokasi atas hak
budaya dan intelektual
4. mengevaluasi dampak ekonomi pariwisata bagi
peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat.
Dalam konteks prinsip kebijakan Pariwisata berkelanjutan yang berbasis kemasyarakatan harus dipandang sebagai ‘suatu sistem’. Dalam
sistem tersebut tercakup berbagai komponen yang saling berinteraksi dan saling
mempengaruhi meliputi : pasar, perjalanan, destinasi dan pemasaran. Oleh karena itu perlu adanya sinergi kebijakan yang mengatur
penyelenggaraan pariwisata. (A Maulana)
0 komentar:
Posting Komentar