Senin, 03 Maret 2014

Keris sebagai Kearifan Lokal Indonesia

Keris pertama kali dikenal dalam bahasa Sansekerta dengan kata kres, yang kemudian dalam bahasa Jawa kuno menjadi kata kris yang kemudian lebih dikenal dengan istilah keris (Arifin, 2006). Keris merupakan salah satu hasil budaya bangsa. Keris telah terdaftar di UNESCO sebagai warisan budaya dunia non-bendawi manusia. Fenomena keris sebagai artefak dan ekspresi budaya tidak akan terlepaskan dengan sistem budaya masyarakatnya.
Keris merupakan karya seni hasil dari sebuah peradaban masyarakat pada masa lalu yang sampai sekarang masih tetap dilestarikan serta ditumbuh-kembangkan. Sejarah dan cerita tentang keris untuk suatu daerah di Indonesia akan berbeda dengan daerah lainnya. Hal ini karena membicarakan keris tidak akan bisa lepas dari budaya masyarakat dimana keris tersebut dibuat serta sejarah masa lalu yang melingkupinya.
Keris adalah senjata tajam yang mempunyai bentuk khas. Sebagai salah satu karya leluhur bangsa Indonesia maka diperlukan perawatan terhadap keris supaya tetap terjaga keberadaannya. Selain sebagai senjata tajam, bagi segolongan orang yang mempercayainya keris memliki “kekuatan” dan “tindakan” yang tidak dapat diketahui langsung melalui tindakan fisik, namun sering dapat ditangkap oleh indera (Arifin, 2006). Dari segi penampilannya, keris memiliki nilai seni yang tinggi. Pembuatan karya seni ini menggunakan teknik tempa yang cukup rumit. Kerumitannya terletak pada seni tempa pamor yang indah. Karena nilai estetisnya, dewasa ini sudah banyak dibuat keris hiasan.
a. Pembuatan Keris
Keris yang saat ini kita kenal adalah hasil proses evolusi yang panjang. Keris memperoleh bentuknya pada masa Majapahit (abad ke-14) dan Kerajaan Mataram baru (abad ke-17 dan 18). Pemerhati dan kolektor keris, lebih senang menggolongkan keris sebagai keris kuno dan keris baru. Prinsip pengamatannya adalah keris kuno yang dibuat sebelum abad ke -19, masih menggunakan bahan bijih logam mentah yang diambil dari sumber alam-tambang-meteor (karena belum ada pabrik peleburan bijih besi, perak dan nikel), sehingga logam yang dipakai masih mengandung banyak jenis logam campuran lainnya, seperti bijih besinya mengandung titanium, kobal, perak, timah putih, nikel ataupun tembaga. Sedangkan keris baru (setelah abad ke -19) biasanya hanya menggunakan bahan besi, baja, dan nikel dari hasil peleburan bijih besi atau besi bekas yang rata-rata olahan pabrik, sehingga kemurniannya terjamin atau sedikit sekali kemungkinannya mengandung logam jenis lainnya (Ningsih, 2008).
Untuk pembuatan keris ini, setidaknya ada tiga bahan yang sering digunakan yaitu:
1) Besi, logam ini sebagai bahan utama bilah keris. Besi yang digunakan adalah jenis besi putih, kandungan atau kadar karbonnya rendah, ini pun harus dibersihkan dari bahan-bahan yang lain. Cara membersihkan besi ini disebut membesut. Sebilah keris memerlukan besi seberat 15 kg setelah dibesut tinggal 8 kg.
2) Nikel, logam ini untuk bahan pamor. Pamor merupakan suatu bentuk dari gambar hiasan yang tertera di atas permukaan bilah keris. Logam nikel mempunyai warna putih kebiru-biruan. Sifatnya keras dan mudah kusam. Untuk sebilah keris memerlukan nikel kurang lebih 1 ons.
3) Baja diperlukan sebagai penguat bilah keris. Selain itu juga untuk membuat bagian bilah yang tajam. Baja yang baik untuk keris adalah baja yang bersifat ulet. Sebuah keris memerlukan baja 1 kg.
Proses pembuatan keris diawali dengan membesut, caranya membakar besi sampai membara. Penempaan dilakukan pada waktu masih membara. Pembakaran dan penempaan berulang ulang sehingga besi menjadi bersih dari bahan lainnya. Setelah selesai dibesut, dipotong menjadi dua bagian sama panjang. Nikel ditempa tipis kira-kira setebal satu mm, selanjutnya nikel diletakkan di tengah potongan besi besutan, kemudian diikat dengan kawat. Bendelan bahan ini dibakar lagi dan ditempa hingga lengket menjadi satu. Hasilnya berupa lapisan pamor yang pertama, kemudian diulang hingga 32 lapisan pamor, selanjutnya lapisan pamor dipotong menjadi dua bagian.
Tahap berikutnya menempa baja seberat 1 kg sehingga menjadi pipih setebal 5 mm ditaruh di tengah antara dua potongan pamor dibuat kedokan. Tahap berikutnya menghaluskan keris dari bekas tempa dan kikiran. Selanjutnya pekerjaan terakhir adalah membakar besi sampai membara, lalu dimasukkan ke dalam bak air dingin, perendaman kira-kira 24 jam.
b. Jamasan Keris
Pada bulan-bulan tertentu tergantung dari kepercayaan masing-masing daerah, sering diadakan siraman pusaka yaitu suatu perawatan dalam bentuk membersihkan pusaka keris yang dimiliki. Selain berhubungan dengan adat istiadat, siraman pusaka ini sangat penting untuk dilakukan mengingat keris terbuat dari logam yang mudah berkarat. Oleh karena itu keris harus dibersihkan dan dirawat supaya tidak mudah rusak. Keris dibersihkan setahun sekali dalam prosesi jamasan keris ataupun siraman pusaka.
Siraman pusaka, prosesnya mencakup tahap mutihi, maranggi, dan anjamasi. Pertama : Mutihi adalah tahap membersihkan keris dari kotoran dan lapisan minyak yang masih menempel pada bilah keris. Dilakukan dengan cara merendam bilah keris ke dalam air kelapa yang telah basi atau buah mengkudu masak (pace) dan atau buah klerak dalam waktu beberapa jam sehingga minyak-minyak yang masih menempel pada bilah keris dapat hilang. Hal ini penting karena selama masih ada minyak menempel, maka bilah keris sulit untuk dibersihkan. Kemudian bilah dikeluarkan dan disikat dengan larutan jeruk nipis atau jeruk pecel berulang-ulang, untuk menghilangkan karat besi dan kotoran lainnya seperti sisa warangan lama, kemudian dibilas (disiram dengan air) sehingga bersih dan warnanya keputih-putihan seperti barang logam lainnya.
Kedua: marangi adalah tahapan merawat keris dengan memberikan warangan kepada bilah keris yang sudah bersih (hasil dari tahap mutihi). Sementara proses ini sangat terbantu oleh penggunaan air jeruk nipis, yang juga berfungsi untuk lebih mudah melarutkan warangan baru dalam bersenyawa dan lebih mudah menempel pada bilah keris yang telah bersih itu. Warangan yang baik untuk merawat keris adalah yang berbentuk kristal warangan alam, yang dihancurkan kembali menjadi bubuk dan kemudian dilarutkan ke dalam air jeruk nipis. Proses ini bertujuan untuk menampilkan ataupun memunculkan motif pamor pada permukaan bilah keris. Warangan merupakan suatu bahan mineral yang di dalamnya mengandung unsur arsenikum.
Ketiga: anjamasi, adalah tahap merawat keris dengan memberikan minyak sebagai pewangi dan pengawet dari bilah keris. Minyak yang digunakan biasanya menggunakan campuran dari beberapa minyak dengan komposisi tertentu. Minyak yang biasa digunakan antara lain minyak cendana, melati, kenanga, javaron atau misik, gandapura dan lain-lain. Sebagai pengencernya ditambah campuran minyak keletik atau minyak kelapa sawit. Meminyaki keris biasanya dilakukan dengan cara mengolesi, dan kemudian menggunakan kuas yang halus untuk meratakan ke seluruh permukaan bilah keris (Arifin, 2006).
c. Kerajinan Keris Hiasan
Selain sebagai senjata tajam yang merupakan benda sejarah, karena nilai estetisnya yang tinggi, ada juga keris sebagai hiasan. Dalam pembuatannya yang diperhatikan dalam keris hiasan ini adalah bagaimana keris ini bisa dibuat seindah dan semenarik mungkin baik dari bentuk atau sisi pamornya. Dalam merawat keris hiasan, tidak dilakukan jamasan seperti pada keris pusaka. Perawatan keris hiasan biasa seperti perawatan logam-logam lainnya yang mudah berkarat.
Seperti halnya pada logam-logam hiasan lainnya, biasanya dilakukan pelapisan logam atau yang dikenal dengan elektroplating pada keris hiasan supaya lebih tahan karat. Pelapisan dapat dilakukan dengan menggunakan perak ataupun nikel yang lebih tahan korosi. Selain itu, dengan pelapisan logam ini, keris hiasan akan lebih tampak menarik.
 

0 komentar:

Posting Komentar