Selasa, 04 Februari 2014

Prinsip kebijakan Pariwisata Berkelanjutan yang berbasis Kemasyarakatan


Oleh, Agus Maulana
Forum Peduli Masyarakat Pariwisata Indonesia (FPMPI)

 “Pengembangan pariwisata didasarkan pada kriteria keberlanjutan yang secara ekologis harus dikelola dalam jangka panjang, dengan tetap memperhatikan aspek ekonomi, etika dan sosial masyarakat.” Demikian bunyi  deklarasi “ Piagam Pariwisata Berkelanjutan” (1995)

Dalam beberapa tahun terakhir, pengaruh globalisasi telah membawa perubahan besar bagi bangsa Indonesia, baik dalam bidang politik, ekonomi maupun sosial-budaya. Gejala itu antara lain ditandai oleh semakin meluasnya paham-paham baik berupa neokolonialisme dengan kekuatan ekonomi, demokratisasi, maupun menaiknya isu pelestarian lingkungan. Internalisasi paham tersebut dimungkinkan sebagai akibat logis dari interaksi antar budaya yang mampu menerobos batas-batas ideologis dan  geopolitik.
Sinyalemen tersebut juga tidak luput melanda dunia kepariwisataan di Indonesia. Beberapa faktor dominan dapat dicatat misalnya berupa aliran modal dan orang yang berpengaruh besar pada penyelenggaraan pariwisata. Ketidakmampuan mengendalikan kecenderungan tersebut pada gilirannya telah memunculkan tanggapan bahwa ketergantungan sektor pariwisata pada modal asing yang akhirnya hanya menguntungkan individual. Konsekuensinya, penyelenggaraan pariwisata di setiap daerah justeru akan membawa kegagalan bagi pembangunan itu sendiri.

Namun, mengingat pariwisata merupakan sektor penting baik sebagai kontributor perolehan devisa negara maupun sebagai stimulan perluasan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan masyarakat, penyelenggaran kepariwisataan diharapkan mampu menjadi sektor pembangunan yang memiliki kehandalan untuk mengeluarkan Indonesia dari krisis ekonomi dan mampu menunjang program pembangunan berkelanjuta disetiap daerah.
Sejak tahun 2004 isu pembangunan berkelanjutan (sustainable development) mulai dibicarakan di kalangan para ahli. Konsep pengembangan berkelanjutan tersebut diartikan sebagai  proses pembangunan yang mengoptimalkan manfaat dari sumberdaya alam dan sumber daya manusia. Nilai keberlanjutan itu bukan hanya menyangkut aspek fisik tetapi juga aspek sosial. Untuk  mewujudkan pola pembangunan berkelanjutan, diperlukan tiga langkah kebijakan : 
Yaitu : Pengelolaan Sumberdaya Alam (resources management),  Pengelolaan Dampak Pembangunan terhadap Lingkungan, serta Pembangunan Sumber Daya Manusia (human resources development).

Berdasarkan konteks pembangunan berkelanjutan, dapat didefinisikan sebagai pembangunan kepariwisataan yang sesuai dengan kebutuhan wisatawan dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan dan memberi manfaat baik bagi masyarakat sekarang maupun yang akan datang.

Gejolak pariwisata Indonesia sejak lima tahun terakhir semakin memperlihatkan perlunya mewujudkan Prinsip pariwisata berkelanjutan yang berbasis pada Kemasyarakatan.
Oleh karena pariwisata merupakan kegiatan yang multisektor, adanya kesamaan prinsip diharapkan dapat memberi orientasi pengembangan yang sama pula.  Prinsip pariwisata berkelanjutan tersebut adalah  Prinsip kebijakan pariwisata berkelanjutan Berbasis kemasyarakatan

Prinsip ini menekankan keterlibatan masyarakat secara langsung atas seluruh kegiatan perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pariwisata yang dilakukan di daerahnya. Pengembangan pariwisata berkelanjutan menempatkan masyarakat sebagai faktor utama. Sebagai salah satu pemangku kepentingan (stakeholder) masyarakat berpartisipasi secara langsung dalam pengambilan keputusan. Dengan konsep pariwisata  berbasis masyarakat, penyelenggaraan kepariwisataan diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui upaya konservasi serta pemanfaatan sumberdaya alam. Bentuk-bentuk kegiatan berbasis masyarakat pelaksanaannya dapat dilakukan melalui pemilikan sendiri sarana dan prasarana pariwisata oleh masyarakat setempat, kemitraan dengan pihak swasta dan sewa lahan atau sumberdaya lainnya baik oleh masyarakat maupun kerjasama dengan swasta.
Tetapi untuk mendukung prinsip tersebut, diperlukan tiga indikator utama sebagai alat ukur penyelenggaraan pariwisata berkelanjutan. Secara garis besar, indikator keberlanjutan tersebut adalah: kelestarian lingkungan, perbaikan kondisi sosial-budaya dan peningkatan ekonomi masyarakat.

Perubahan perubahan prinsip kebijakan ini akan  membawa implikasi luas, baik pada kegiatan kepariwisataan itu sendiri, maupun bagi pengelolaan lingkungan alam, sosial dan budaya sebagai sumberdaya yang menjadi andalan utama kegiatan pariwisata.
Dalam perkembangannya, kebijakan pariwisata semakin disadari memiliki kelemahan-kelemahan dalam konteks pembangunan berkelanjutan. Sebagai contoh misalnya Undang-Undang No. 9 Tahun 1999,  secara obyektif-empiris bersifat sentralistis. Pada Bab IV pasal  31-33 masih tertera istilah-istilah ”pembinaan”, “pengaturan”, “bimbingan”, dan “pengawasan”. Di samping itu, masih ada muatan pembatasan peran masyarakat dalam pengambilan keputusan, baik pada penyampaian peran, pendapat, maupun pertimbangan (pasal 30 ayat 2). Pemerintah pusat juga  hanya menyerahkan sebagian urusan kepada pemerintah daerah (Pasal 34, ayat 1).

Meskipun prinsip-prinsip pariwisata berkelanjutan dapat ditemukan dalam berbagai kebijakan sektoral, namun dalam pelaksanaannya kepentingan sektoral masih menonjol. Keterpaduan kebijakan sektoral belum terlihat, sehingga berpotensi menimbulkan kesalahpahaman pada tingkat pelaksanaan.  Oleh karena itu, diperlukan lembaga yang berperan mengkoordinasikan, mensinkronisasikan, mensinergikan kebijakan sektoral agar dapat menghasilkan dampak pariwisata berkelanjutan.

Dalam penyelenggaraan Prinsip kebijakan pariwisata berkelanjutan Berbasis kemasyarakatan.  ada empat peran dari stakeholder yaitu  pemerintah (pemerintah pusat sebagai fasilitator dan pemerintah daerah sebagai dinamisator), swasta dan masyarakat sebagai operator, serta pemerintah, swasta dan masyarakat sebagai pengguna jasa. Ke empat peran ini yang harus saling mendukung menurut fungsi, skala, pengendalian, sifat kelembagaan, bentuk kelembagaan dan spesifikasinya.

Dengan menempatkan para stakeholder pada peran dan fungsinya masing-masing dalam penyelenggaraan pariwisata, maka perlu adanya komponen-komponen yang dapat mengintegrasikan peran tersebut dalam sistem kepariwisataan yang terpadu. Komponen-komponen tersebut adalah menyangkut: kewirausahaan, kecenderungan global, ketenagakerjaan, masyarakat, kebijakan, dukungan untuk berperan keuangan, organisasi dan kepemimpinan

Akhirnya, peran Masyarakat Lokal/Adat dan LSM menjadi bagian terpenting  dalam penyelenggaraan pariwisata. Masyarakat seringkali termarjinalkan, baik Oleh karena itu, dalam proses penyelenggaraan kepariwisataan, masyarakat harus mampu:

1.    berpartisipasi dalam pengendalian pembangunan
2.   melakukan pemantauan terhadap kegiatan pariwisata yang berpotensi   menimbulkan    dampak buruk terhadap lingkungan alam dan sosial-budaya
3.    melakukan advokasi atas hak budaya dan intelektual
4.    mengevaluasi dampak ekonomi pariwisata bagi peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat.

Dalam konteks prinsip kebijakan Pariwisata berkelanjutan  yang berbasis kemasyarakatan  harus dipandang sebagai ‘suatu sistem’. Dalam sistem tersebut tercakup berbagai komponen yang saling berinteraksi dan saling mempengaruhi meliputi : pasar, perjalanan, destinasi dan pemasaran. Oleh karena itu perlu adanya sinergi kebijakan yang mengatur penyelenggaraan pariwisata. (A Maulana)

0 komentar:

Posting Komentar