Jumat, 29 Agustus 2014

Menjawab Kompleksitas Masa Depan

Sedikitnya ada tiga alasan pentingnya Kurikulum 2013 (K13). Pertama, mengacu pada buku Six Simple Rules: How To Manage Complexity Without Getting Complicated(Morieux and Tollman, 2014) yang menyebutkan tingkat kompleksitas dalam periode 20-30 tahun meningkat 35 kali lipat. Artinya, persoalan dan solusi di masa depan bertambah rumit.
Kedua, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menghadirkan kompleksitas tersendiri, sehingga diperlukan orang-orang yang berpikir kritis seperti disinggung dalam buku Critical Thinking: Tools for Taking Charge of Your Prefessional and Personal Life(Paul and Elder, 2014). Pada dua alasan pertama inilah, maka anak-anak harus kita ajari mampu berpikir kritis dan menyelesaikan persoalan yang tambah rumit.
Alasan ketiga, pendekatan partisipatory teaching methode dalam K13 memberikan hasil yang jauh lebih baik dibanding passive teaching methode. Metode pembelajaran partisipasi yang mencakup diskusi kelompok, praktik di laboratorioum atau kerja sosial, dan presentasi, daya serapnya terhadap siswa 50-90 persen. Karena itu, K13 mengedepankan observasi, bertanya, bereksperimen, berpikir nalar, dan menyampaikan pendapat.
Terlepas dari kritik, konsep yang kita kembangkan dalam K13, diyakini bisa menjawab kompleksitas persoalan di masa depan.
Ada hal yang sangat menggembirakan, hasil survei terhadap narasumber, instruktur nasional, dan guru sasaran, terkait keyakinan implementasi K13, menyatakan diyakini akan berhasil. Hasil survei tersebut, baik di jenjang SD, SMP, dan SMA/SMK, berkesimpulan sama.
Sementara terkait terhadap cara penilaian peserta didik yang mengalamii perubahan, terutama berkaitan dengan pengolahan nilai yang harus dilakukan secara otentik terus menerus, sepanjang proses pembelajaran, bagi sebagian besar guru memang masih membingungkan, karena selama ini yang mereka pahami, penilaian selalu berkaitan dengan angka-angka atau kuantitatif.
Tentu ini tidak menyurutkan dalam hal implementasi, karena aspek lainnya seperti cara pembuatan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan konsep, serta proses pembelajaran saintifik angka rata-ratanya cukup baik dipahami.
Sebelumnya, hasil sensus pelaksanaan K13 di 6.329 sekolah pada pelaksanaan tahun pertama 2013, menunjukkan hasil positif. Sedikitnya ada delapan hal yang disensus waktu itu, yakni daya nalar, hasrat membaca, pembentukan karakter, keaktifan bertanya dan berpendapat, semangat belajar, kreativitas, proses pembelajaran, dan motivasi melakukan observasi. Dari delapan pertanyaan sensus, poin proses pembelajaran memiliki angka rata-rata 90 persen.
Inilah yang menjadi pegangan kuat dan komitmen untuk terus mengimplementasikan K13. Seandainya hasil sensus itu di bawah, mungkin akan lain jalan ceritanya.
K13 dirumuskan bermula dari potensi, permasalahan, dan tantangan yang dihadapi, baik bersifat evaluatif maupun antisipatif, termasuk fenomena negatif (tawuran, korupsi), hasil PISA dan TIMSS. Dari sinilah K13 berisikan kompetensi lulusan, isi, proses pembelajaran dan penilaian. Keempat aspek ini dikembangkan dalam K13.
Dari sisi kompetensi lulusan, anak-anak, kita harapkan memiliki keutuhan kompetensi yaitu pengetahuan, keterampilan dan sikap. Dari sisi isi, kita lakukan penataan ulang materi pembelajaran, dipeluas dan diperdalam. Kedudukan bahasa Indonesia, PPKN dan Sejarah kita pertegas, termasuk kita tambah Agama dan Budi Pekerti.
Proses pembelajaran kita gunakan pendekatan saintifik-partisipatif dengan anak dilatih dan dibiasakan untuk mengamati, dan bertanya, mencoba dan bernalar, hingga mengkomunikasikan baik lisan maupun tulisan. Sedangkan penilaian pun dikembangkan, tidak semata kuantitatif-numerik, tapi juga kualitatif-diskriptif.
Sebagai catatan akhir perlu ditegaskan kembali bahwa K13 merupakan kebijakan mendasar. Sebab menyangkut rencana aksi untuk membangun Indonesia ke depan. Pendidikan karakter yang dibentuk pada K13 sejalan dengan Revolusi Mental yang tengah didengungkan Presiden dan Wakil Presiden terpilih Joko Widodo dan Muhammad Jusuf Kalla. (***)

Sabtu, 23 Agustus 2014

Testimoni Peserta: Tidak Ada Perbedaan Perlakuan Pasien BPJS Kesehatan

Bogor – Sesuai dengan peraturan yang berlaku, tidak ada perbedaan pelayanan medis antara peserta BPJS Kesehatan kelas I, kelas II, maupun  kelas III. Hal ini dirasakan oleh salah satu peserta BPJS Kesehatan, Sabariah (35), warga Ciparigi Bogor Utara yang merasakan manfaat layanan persalinan BPJS Kesehatan.

“Istri saya sempat mengalami perdarahan pada bulan keenam. Karena kondisinya darurat, saya langsung ke RS PMI Bogor. Di sana istri saya langsung ditangani oleh dokter dan dirawat inap selama 3 hari. Biaya perawatannya mungkin sekitar Rp 4 juta, tapi saya tidak ditarik biaya macam-macam saat dokter mengijinkan istri saya pulang,” cerita Agus Setiawan (37).

Saat menunggui istrinya, Agus sempat bertukar cerita dengan pasien Jamkesmas. Ia mengaku puas karena pihak RS PMI Bogor tidak membeda-bedakan perlakuan antara pasien BPJS Kesehatan kelas I, II, III, maupun peserta BPJS Kesehatan yang berasal dari Jamkesmas atau PBI. “Pelayanannya sama cepatnya, sama ramahnya, sama baiknya. Tidak ada diskriminasi,” tegasnya.

Pada bulan ketujuh, Sabariah kembali mengalami perdarahan. Kali ini dokter memutuskan agar dilakukan tindakan operasi caesar.  Setelah mendapat transfusi darah dan kondisi Sabariah dinilai sudah cukup stabil, operasi pun segera dilakukan.

“Alhamdulillah, bayi kami lahir dengan selamat. Istri saya sendiri dirawat selama 8 hari di sana. Kalau dihitung-hitung, biaya rawat inap, transfusi darah, obat, dan lain-lain, habisnya bisa sampai Rp 18 juta, tapi lagi-lagi saya tidak ditarik biaya apapun. Cukup menunjukkan Kartu BPJS Kesehatan dan KTP istri saya ke petugas RS,” tuturnya.


Peserta BPJS Kesehatan kelas II itu pun menyarankan agar BPJS Kesehatan terus meningkatkan pelayanan dan sosialisasi kepada masyarakat, termasuk para tenaga medis yang bekerja di rumah sakit agar pelaksanaan program JKN bisa berjalan semakin baik.

Diposting oleh : Dep. Hubungan Masyarakat

Kamis, 21 Agustus 2014

Pendaftaran seleksi calon pegawai negeri sipil (CPNS) dimulai Sore ini



Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI
Pendaftaran Seleksi CPNS Kementerian/ Lembaga Dibuka
Jakarta, Kemdikbud --- Mulai sore ini, Rabu (20/08), pendaftaran seleksi calon pegawai negeri sipil (CPNS) untuk seluruh kementerian dan lembaga dibuka. Laman pendaftaran http://sscn.bkn.go.id danhttps://panselnas.menpan.go.id/ sudah bisa diakses oleh masyarakat umum yang akan melakukan pendaftaran.

Seleksi CPNS tahun 2014 dilaksanakan secara serentak dan terintegrasi melalui sistem daring (online). Sistem pendaftaran CPNS...

Selasa, 19 Agustus 2014

Daftar Uang Kertas yang Sah Beredar di Indonesia

Jakarta, Lugasnews, - Bank Indonesia (BI) resmi meluncurkan uang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pecahan Rp 100 ribu pada perayaan Kemerdekaan Indonesia ke-69. Dengan demikian, uang NKRI ini menambah deretan uang kertas yang beredar di Indonesia.
BI dalam situsnya menyebutkan, alat pembayaran tunai lebih banyak memakai uang kartal (uang kertas dan logam). Uang kartal masih memainkan peran penting khususnya untuk transaksi bernilai kecil.
"Dalam masyarakat moderen seperti sekarang ini, pemakaian alat pembayaran tunai seperti uang kartal memang cenderung lebih kecil dibanding uang giral," mengutip situs BI, Selasa (19/8/2014).Adapun BI mencatat nilai uang kartal yang beredar sampai 14 juli 2014 kurang lebih Rp 600 triliun.

Mengutip laman BI, kini terdapat 12 emisi uang kertas dengan berbagai pecahan.  Uang kertas ini ada yang sudah beberapa kali mengalami perubahan, seperti mata uang Rp 20 ribu, Rp 50 ribu dan Rp 100 ribu.

Berikut daftar uang kertas yang sah beredar di Indonesia saat ini:


1. Pecahan Rp 1.000 tahun edar 2000
2. Pecahan  Rp 2.000 tahun edar 2009
3. Pecahan  Rp 5.000 tahun edar 2001
4. Pecahan  Rp 10 ribu tahun edar 2005
5. Pecahan  Rp 10 ribu tahun edar 2005
6. Pecahan  Rp 20 ributahun edar 2004
7. Pecahan  Rp 20 ribu tahun edar 2004 (desain baru)
8. Pecahan  Rp 50 ribu tahun edar 2005
9. Pecahan  Rp 50 ribu tahun edar 2005 (desain baru)
10. Pecahan  Rp 100 ribu tahun edar 2004
11. Pecahan Rp 100 ribu tahun edar 2004 (desain baru)
12. Pecahan  Rp 100 ribu tahun edar 2014. (Nrm)

Minggu, 17 Agustus 2014

Membangun Karakter Bangsa Melalui Pendidikan Berkarakter





Kamis, 14 Agustus 2014

Prabu Siliwangi dan Mitos Maung Dalam Masyarakat Sunda

Prabu Siliwangi dan Mitos Maung Dalam Masyarakat Sunda



Dalam khazanah kebudayaan masyarakat tatar Sunda, maung atau harimau merupakan simbol yang tidak asing lagi. Beberapa hal yang berkaitan dengan kebudayaan dan eksistensi masyarakat Sunda dikorelasikan dengan simbol maung, baik simbol verbal maupun non-verbal seperti nama daerah (Cimacan), simbol Komando Daerah Militer (Kodam) Siliwangi, hingga julukan bagi klub sepak bola kebanggaan warga kota Bandung (Persib) yang sering dijuluki Maung Bandung. Lantas, bagaimana asal-muasal melekatnya simbol maung pada masyarakat Sunda? Apa makna sesungguhnya dari simbol hewan karnivora tersebut?
Maung dan Legenda Siliwangi
Dunia keilmuan Antropologi mengenal teori sistem simbol yang diintrodusir oleh Clifford Geertz, seorang Antropolog Amerika. Dalam bukunya yang berjudul Tafsir Kebudayaan (1992), Geertz menguraikan makna dibalik sistem simbol yang ada pada suatu kebudayaan. Antropolog yang terkenal di tanah air melalui karyanya “Religion of Java” itu menyatakan bahwa sistem simbol merefleksikan kebudayaan tertentu. Jadi, bila ingin menginterpretasi sebuah kebudayaan maka dapat dilakukan dengan menafsirkan sistem simbolnya.
Sistem simbol sendiri merupakan salah satu dari tiga unsur pembentuk kebudayaan. Kedua unsur lainnya adalah sistem nilai dan sistem pengetahuan. Menurut Geertz, relasi dari ketiga sistem tersebut adalah sistem makna (System of Meaning) yang berfungsi menginterpretasikan simbol dan, pada akhirnya, dapat menangkap sistem nilai dan pengetahuan dalam suatu kebudayaan.
Simbol maung dalam masyarakat Sunda terkait erat dengan legenda menghilangnya (nga-hyang) Prabu Siliwangi dan Kerajaan Pajajaran yang dipimpinnya pasca penyerbuan pasukan Islam Banten dan Cirebon yang juga dipimpin oleh keturunan Prabu Siliwangi. Konon, untuk menghindari pertumpahan darah dengan anak cucunya yang telah memeluk Islam, Prabu Siliwangi beserta para pengikutnya yang masih setia memilih untuk tapadrawa di hutan sebelum akhirnya nga-hyang. Berdasarkan kepercayaan yang hidup di sebagian masyarakat Sunda, sebelum Prabu Siliwangi nga-hyang bersama para pengikutnya, beliau meninggalkan pesan atau wangsit yang dikemudian hari dikenal sebagai “wangsit siliwangi”.
Salah satu bunyi wangsit yang populer di kalangan masyarakat Sunda adalah: “Lamun aing geus euweuh marengan sira, tuh deuleu tingkah polah maung[1]. Ada hal menarik berkaitan dengan kata-kata dalam wangsit tersebut: kata-kata itu termasuk kategori bahasa sunda yang kasar bila merujuk pada strata bahasa yang digunakan oleh masyarakat Sunda Priangan (Undak Usuk Basa). Mengapa seorang raja berucap dalam bahasa yang tergolong “kasar”? Bukti sejarah menunjukkan bahwa kemunculan undak usuk basa dalam masyarakat Sunda terjadi karena adanya hegemoni budaya dan politik Mataram yang memang kental nuansa feodal, dan itu baru terjadi pada abad 17—beberapa sekian abad pasca Prabu Siliwangi tiada atau nga-hyang. Namun tinjauan historis tersebut bukanlah bertujuan melegitimasi wangsit itu sebagai kenyataan sejarah. Bagaimanapun, masih banyak kalangan yang mempertanyakan validitas dari wangsit itu sebagai fakta sejarah, termasuk penulis sendiri.
Wangsit, yang bagi sebagian masyarakat Sunda itu sarat dengan filosofi kehidupan, menjadi semacam keyakinan bahwa Prabu Siliwangi telah bermetamorfosa menjadi maung (harimau) setelah tapadrawa (bertapa hingga akhir hidup) di hutan belantara. Yang menjadi pertanyaan besar: apakah memang pernyataan atau wangsit Siliwangi itu bermakna sebenarnya ataukah hanya kiasan? Realitasnya, hingga kini masih banyak masyarakat Sunda (bahkan juga yang non-Sunda) meyakini metamorfosa Prabu Siliwangi menjadi harimau. Selain itu, wangsit tersebut juga menjadi pedoman hidup bagi sebagian orang Sunda yang menganggap sifat-sifat maung seperti pemberani dan tegas, namun sangat menyayangi keluarga sebagai lelaku yang harus dijalani dalam kehidupan nyata.
Dari sini kita melihat terungkapnya sistem nilai dari simbol maung dalam masyarakat Sunda. Ternyata maung yang memiliki sifat-sifat seperti yang telah disebutkan sebelumnya menyimpan suatu tata nilai yang terdapat pada kebudayaan masyarakat Sunda, khususnya yang berkaitan dengan aspek perilaku (behaviour).
Kisah lain yang berkaitan dengan menjelmanya Prabu Siliwangi menjadi harimau adalah legenda hutan Sancang atau leuweung Sancang di Kabupaten Garut. Konon di hutan inilah Prabu Siliwangi beserta para loyalisnya menjelma menjadi harimau atau maung. Proses penjelmaannya pun terdapat dalam beragam versi. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, ada yang mengatakan bahwa Prabu Siliwangi menjelma menjadi maung setelah menjalani tapadrawa. Tetapi ada pula sebagian masyarakat Sunda yang berkeyakinan bila Prabu Siliwangi dan para pengikutnya menjadi harimau karena keteguhan pendirian mereka untuk tidak memeluk agama Islam. Menurut kisah tersebut, Prabu Siliwangi menolak bujukan putranya yang telah menjadi Muslim, Kian Santang, untuk turut memeluk agama Islam. Keteguhan sikap itu yang mendorong penjelmaan Prabu Siliwangi dan para pengikutnya menjadi maung. Akhirnya, Prabu Siliwangi pun berubah menjadi harimau putih, sedangkan para pengikutnya menjelma menjadi harimau loreng.
Hingga kini kisah harimau putih sebagai penjelmaan Siliwangi itu masih dipercayai kebenarannya oleh masyarakat di sekitar hutan Sancang. Bahkan, kisah ini menjadi semacam kearifan lokal (local wisdom). Menurut masyarakat di sekitar hutan, bila ada pengunjung hutan  yang berperilaku buruk dan merusak kondisi ekologis hutan, maka ia akan “berhadapan” dengan harimau putih yang tak lain adalah Prabu Siliwangi. Tidak masuk akal memang, namun di sisi lain, hal demikian dapat dipandang sebagai sistem pengetahuan masyarakat yang berhubungan dengan ekologi. Masyarakat leuweung Sancang telah menyadari arti pentingnya keseimbangan ekosistem kehutanan, sehingga diperlukan instrumen pengendali perilaku manusia yang seringkali berhasrat merusak alam. Dan mitos harimau putih jelmaan Siliwangi lah yang menjadi instrumen kontrol sosial tersebut.
Namun, serangkaian kisah yang mendeskripsikan korelasi antara Prabu Siliwangi dengan mitos maung itu tetap saja menyisakan pertanyaan besar, apakah itu semua merupakan fakta sejarah? Siapa Prabu Siliwangi sebenarnya dan darimanakah mitos maung itu muncul pertama kali?
Kekeliruan Tafsir
Bila kita telusuri secara mendalam, niscaya tidak akan ditemukan bukti sejarah yang menghubungkan Prabu Siliwangi atau Kerajaan Pajajaran dengan simbol harimau. Adapun yang mengatakan bahwa harimau pernah menjadi simbol Pajajaran adalah salah satu tokoh Sunda sekaligus orang dekat Otto Iskandardinata (Pahlawan Nasional), Dadang Ibnu. Tetapi, lagi-lagi, tidak ada bukti sejarah Sunda yang dapat memperkuat hipotesa ini, baik itu Carita Parahyangan, Siksakanda Karesian, ataupun Wangsakerta. Bahkan mengenai lambang Kerajaan Pajajaran pun masih debatable, dikarenakan ada beragam versi lain yang mengemuka menyangkut lambang Pajajaran.[2]
Problem lain yang muncul berkaitan dengan kebenaran sejarah “maung Siliwangi” tersebut ialah rentang waktu yang cukup jauh antara masa ketika Prabu Siliwangi hidup dan memerintah dengan runtuhnya Kerajaan Pajajaran yang dalam mitos maung berakhir dengan penjelmaan Siliwangi dan para pengikut Pajajaran menjadi harimau di hutan Sancang. Penting untuk diketahui bahwa secara etimologis, Siliwangi, yang terdiri dari dua suku kata yaitu Silih (pengganti) dan Wangi, bermakna sebagai pengganti Prabu Wangi. Menurut para pujangga Sunda di masa lampau, Prabu Wangi merupakan julukan bagi Prabu Niskala Wastukancana yang berkuasa di Kerajaan Sunda-Galuh (ketika itu belum bernama Pajajaran) pada tahun 1371-1475. Lalu, nama Siliwangi yang berarti pengganti Prabu Wangi merupakan julukan bagi Prabu Jayadewata, cucu Prabu Wastukancana. Prabu Jayadewata yang berkuasa pada periode 1482-1521 dianggap mewarisi kebesaran Wastukancana oleh karena berhasil mempersatukan kembali Sunda-Galuh dalam satu naungan kerajaan Pajajaran.[3] Sebelum Prabu Jayadewata berkuasa, Kerajaan Sunda-Galuh sempat terpecah. Putra Wastukancana (sekaligus ayah Prabu Jayadewata), Prabu Dewa Niskala, hanya menjadi penguasa kerajaan Galuh.
Dipersatukannya kembali Sunda dan Galuh oleh Jayadewata, membuat beliau dipandang mewarisi kebesaran kakeknya, Prabu Wastukancana alias Prabu Wangi. Maka, para sastrawan atau pujangga Sunda ketika itu memberikan gelar Siliwangi bagi Prabu Jayadewata. Siliwangi memiliki arti pengganti atau pewaris Prabu Wangi. Jadi, raja Sunda Pajajaran yang dimaksud dalam sejarah sebagai Prabu Siliwangi adalah Prabu Jayadewata yang berkuasa dari tahun 1482-1521.
Lalu kapan sebenarnya Kerajaan Pajajaran runtuh? Apakah pada masa Prabu Jayadewata atau Siliwangi? Ternyata, sejarah mencatat ada lima raja lagi yang memerintah sepeninggal Prabu Jayadewata.[4] Berikut ini periodisasi penerintahan raja-raja Pajajaran pasca wafatnya Jayadewata alias Siliwangi :
1.)   Prabu Surawisesa (1521-1535)
2.)   Prabu Ratu Dewata (1535-1543)
3.)   Ratu Sakti (1543-1551)
4.)   Prabu Nilakendra (1551-1567)
5.)   Prabu Raga Mulya (1567-1579)
Pada masa pemerintahan Raga Mulya lah, tepatnya tahun 1579, Kerajaan Pajajaran mengalami kehancuran akibat serangan pasukan Kesultanan Banten yang dipimpin Maulana Yusuf.[5] Peristiwa tersebut tercatat dalam Pustaka Rajyarajya Bhumi Nusantara parwa III sarga I halaman 219, sebagai berikut :
Pajajaran sirna ing bhumi ing ekadaci cuklapaksa Wesakhamasa saharsa punjul siki ikang cakakala.
Artinya :
Pajajaran lenyap dari muka bumi tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka atau tanggal 8 Mei 1579 M.
Kemudian bagaimana nasib Prabu Mulya? Sumber yang sama menyatakan bahwa Prabu Raga Mulya beserta para pengikutnya yang setia tewas dalam pertempuran mempertahankan ibukota Pajajaran yang ketika itu telah berpindah ke Pulasari, kawasan Pandeglang sekarang. Fakta sejarah tersebut menunjukkan bahwa keruntuhan kerajaan Pajajaran terjadi pada tahun 1579 atau 58 tahun setelah Prabu Siliwangi wafat. Berarti Prabu Siliwangi tidak pernah mengalami keruntuhan Kerajaan yang telah dipersatukannya. Raja yang mengalami kehancuran Kerajaan Pajajaran adalah Prabu Raga Mulya yang merupakan keturunan kelima Prabu Siliwangi atau janggawareng[6] nya Prabu Siliwangi. Sementara Prabu Raga Mulya sendiri gugur dalam perang mempertahankan kedaulatan negerinya dari agresi Banten. Jadi, raja Pajajaran terakhir ini memang nga-hyang, namun bukan menjadi maung sebagaimana diyakini masyarakat Sunda selama ini melainkan gugur di medan tempur. Dari serangkaian bukti sejarah tersebut dapat disimpulkan bahwa mitos penjelmaan Prabu Siliwangi dan sisa-sisa prajurit Pajajaran menjadi harimau hanya sekedar mitos dan bukan fakta sejarah.
Bila bukan fakta sejarah, darimana sebenarnya mitos maung yang selalu melekat pada kisah Siliwangi dan Pajajaran itu berasal? Pertanyaan ini dapat menemukan titik terang bila meninjau laporan ekspedisi seorang peneliti Belanda, Scipio, kepada Gubernur Jenderal VOC, Joanes Camphuijs, mengenai jejak sejarah istana Kerajaan Pajajaran di kawasan Pakuan (daerah Batutulis Bogor sekarang). Laporan penelitian yang ditulis pada tanggal 23 Desember 1687 tersebut berbunyi “dat hetselve paleijs en specialijck de verheven zitplaets van den getal tijgers bewaakt ent bewaart wort”, yang artinya: bahwa istana tersebut terutama sekali tempat duduk yang ditinggikan untuk raja “Jawa” Pajajaran sekarang masih berkabut dan dijaga serta dirawat oleh sejumlah besar harimau. Bahkan kabarnya salah satu anggota tim ekspedisi Scipio pun menjadi korban terkaman harimau ketika sedang melakukan tugasnya.
Temuan lapangan ekspedisi Scipio itu mengindikasikan bahwa kawasan Pakuan yang ratusan tahun sebelumnya merupakan pusat kerajaan Pajajaran telah berubah menjadi sarang harimau. Hal inilah yang menimbulkan mitos-mitos bernuansa mistis di kalangan penduduk sekitar Pakuan mengenai hubungan antara keberadaan harimau dan hilangnya Kerajaan PajajaranBerbasiskan pada laporan Scipio ini, dapat disimpulkan bila mitos maung lahir karena adanya kekeliruan sebagian masyarakat dalam menafsirkan realitas.
Sesungguhnya, keberadaan harimau di pusat Kerajaan Pajajaran bukanlah hal yang aneh, mengingat kawasan tersebut sudah tidak berpenghuni pasca ditinggalkan sebagian besar penduduknya di penghujung masa kekuasaan Prabu Nilakendra—ratusan tahun sebelum tim Scipio melakukan ekspedisi penelitian.[7] Sepeninggal para penduduk dan petinggi kerajaan, wilayah Pakuan berangsur-angsur menjadi hutan. Bukanlah suatu hal yang aneh bila akhirnya banyak harimau bercokol di kawasan yang telah berubah rupa menjadi leuweung tersebut.
Kesimpulan
Mitos maung yang dilekatkan pada sejarah Prabu Siliwangi dan Kerajaan Pajajaran pun sudah terpatahkan oleh serangkaian bukti dan catatan sejarah yang telah penulis uraikan. Memang sebagai sebuah sistem simbol, maung telah melekat pada kebudayaan masyarakat Sunda. Simbol dan mitos maung juga menyimpan filosofi serta berfungsi sebagai sistem pengetahuan masyarakat berkaitan dengan lingkungan alam. Hal demikian tentu harus kita apresiasi sebagai sebuah kearifan lokal masyarakat Sunda.
Namun sebagai sebuah fakta sejarah, identifikasi maung sebagai jelmaan Prabu Siliwangi dan pengikutnya merupakan kekeliruan dalam menafsirkan sejarah. Hal inilah yang perlu diluruskan agar generasi berikutnya, khususnya generasi baru etnis Sunda, tidak memiliki persepsi yang keliru dengan menganggap mitos maung Siliwangi sebagai realitas sejarah.
Kekeliruan mitos maung hanya salah satu dari sekian banyak ”pembengkokkan” sejarah di negeri ini yang perlu diluruskan. Hendaknya kita jangan takut menerima realitas sejarah yang mungkin berlawanan dengan keyakinan kita selama ini, karena sebuah bangsa yang tidak takut melihat kebenaran masa lalu dan berani memperbaikinya demi melangkah menuju masa depan akan menjelma menjadi bangsa yang memiliki kepribadian tangguh. Terima kasih.
Sampurasun..
HISKI DARMAYANA, Kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cabang Sumedang dan Alumni Antropologi FISIP Universitas Padjadjaran.



[1] Kisah mengenai wangsit ini telah menjadi semacam kisah yang sifatnya “tutur tinular” dari generasi ke generasi dalam masyarakat Sunda. Sehingga sulit dilacak dari mana sebenarnya cerita mengenai wangsit ini bermula.
[2] Sebagian kalangan berkeyakinan lambang Pajajaran adalah burung gagak (kini menjadi lambang salah satu perguruan silat di Jawa Barat, Tajimalela). Sementara ada pula yang berpendapat bahwa gajah adalah simbol Pajajaran yang sebenarnya.
[3] Nama Siliwangi sudah muncul di Kropak 630, semacam karya sastra Sunda berjenis pantun pada masa Prabu Jayadewata berkuasa. Seperti halnya nama Prabu Wangi, Siliwangi juga diciptakan oleh para pujangga Sunda sebagai julukan atau gelar bagi Prabu Jayadewata. Selain Siliwangi, Prabu Jayadewata juga mendapat gelar lain, yakni Sri Baduga Maharaja.
[4] Terdapat dalam  naskah Carita Parahyangan. Naskah ini mendokumentasikan kehidupan Kerajaan Sunda-Galuh hingga Pajajaran dari berbagai aspek, seperti politik dan ekonomi.
[5] Maulana Yusuf tiada lain adalah keturunan Prabu Siliwangi dengan Nyi Subanglarang.
[6] Janggawareng merupakan istilah  bagi keturunan kelima dalam sistem kekerabatan Sunda.
[7] Hal ini diceritakan dalam naskah Carita Parahyangan. Migrasi besar-besaran tersebut dilakukan untuk menghindari serangan Pasukan Banten yang sangat gencar. Sementara strategi pertahanan Prabu Nilakendra amat lemah  dan tidak mampu membendung agresi Banten.

Selasa, 12 Agustus 2014

130 Ribu Sekolah Belum Terima Buku Kurikulum Baru

JAKARTA - Awal penerapan Kurikulum 2013 tahun pelajaran 2014/2015 berjalan dengan timpang. Sebanyak 130 ribu sekolah diantara 390 ribu sekolah sasaran implementasi kurikulum belum mendapatkan kiriman buku baru. Pembelajaran tidak boleh berhenti, sekolah diminta menggandakan sebagian isi buku secara mandiri.
Wakil Mendikbud Bidang Pendidikan Musliar Kasim menuturkan, Kemendikbud tetap mengupayakan target penuntaskan pendistribusian buku hingga 15 Agustus nanti. Menyiasati kekurangan pendistribusian buku itu, Musliar telah mengeluarkan surat edaran khusus. Dalam surat edaran itu, kepala SD diminta menggandakan buku sendiri khusus untuk tema pertama.
Diharapkan setelah tema pertama tuntas, buku kiriman dari percetakan sudah tiba di sekolah. Sedangkan untuk kepala SMP dan SMA serta SMK yang belum mendapatkan kiriman buku baru, diminta untuk berkoordinasi dengan percetakan.
"Setelah buku dari percetakan tiba di sekolah, tolong segera dibayar biaya penggandaannya," ujar Musliar.
Musliar mengatakan bahwa sasaran implementasi kurikulum baru untuk jenjang pendidikan dasar (SD dan SMP) sebanyak 183.768 unit sekolah. Sedangkan sasaran untuk jenjang pendidikan menengah (SMA dan SMK) berjumlah 206.799 unit sekolah.
"Kalau dipersentase, buku yang sudah terdistribusi sudah mencapai 70 persen dari total sekolah sasaran," kata dia.
Musliar berharap di siswa katu hingga 15 Agustus nanti, buku-buku kurikulum baru sudah terdistribusikan semuanya.
Urusan percetakan hingga pendistribusian buku kuriulum baru ini memang menyita perhatian Kemendikbud. Awalnya percetakan hingga pendistribusian ditargetkan tuntas pada 14 Juli lalu. Tetapi nyatanya meleset dan diperpanjang menjadi 4 Agustus, bertepatan dengan dimulainya belajar efektif setelah libur lebaran. Namun setelah diperpanjang, pencetakan dan pendistribusian buku belum tuntas. Sehingga batas akhirnya diundur lagi hingga 15 Agustus nanti.
Musliar mengatakan molornya penggandaan dan pendistribusian buku ini disebabkan karena sekolah tidak memesan atau order buku ke percetakan dengan tepat waktu. Kondisi ini membut percetakan tidak mau menggandakan buku terlebih dahulu, karena tidak ada jaminan uang yang akan dibayarkan oleh sekolah.
"Dampaknya mempengaruhi cash flow percetakan. Banyak percetakan yang mengalami kekurangan modal, sehingga tidak bisa menggandakan dulu," paparnya.
Untungnya Kemendikbud sudah melakukan upaya antisipasi. Caranya adalah dengan menyebar CD berisi softcopy buku-buku kurikulum baru. Dengan data lunak itu, masing-masing sekolah bisa menggandakan secara mandiri untuk bab-bab awal semester ganjil tahun ajaran 2014-2015. Dengan cara ini, diharapkan pembelajaran tidak berhenti gara-gara menunggu kiriman buku dari percetakan.  

Sumber; (wan/ca) JPNN