Selain Angklung,
suku Sunda masih memiliki ragam budaya lainnya yang sangat menarik dan mempesona.
Seni Sunda Benjang merupakan salah satu seni kebanggaan budaya Sunda.
Seni Benjang ini terus dipertahankan keberadaannya hingga jaman modern seperti
sekarang. Sebenarnya seperti apa Benjang tersebut atau Apa Itu Seni Sunda Benjang?
Benjang adalah jenis
kesenian tradisional Tatar Sunda, yang hidup dan berkembang di sekitar
Kecamatan Ujungberung, Kabupaten Bandung hingga kini. Dalam pertunjukannya,
selain mempertontonkan ibingan (tarian) yang mirip dengan gerak pencak silat,
juga dipertunjukkan gerak-gerak perkelahian yang mirip gulat.
Seperti umumnya
kesenian tradisional Sunda yang selalu mempergunakan lagu untuk mengiringi
gerakan-gerakan pemainnya, demikian pula dalam seni benjang, lagu memegang
peranan yang cukup penting dalam menampilkan seni benjang. Misalnya, pada lagu
Rincik Manik dan Ela-Ela, pemain benjang akan melakukan gerakan yang disebut
dogong, yaitu permainan saling mendorong antara du apemain benjang dengan
mempergunakan halu (antan) dalam sebuah lingkaran atau arena. Yang terseret ke
luar garis lingkaran dalam dogong itu dinyatakan kalah.
Dari gerakan dogong
tadi kemudian berkembanglah gerakan seredan, yaitu saling desak dan dorong
seperti permainan sumo Jepang tanpa alat apa pun. Begitu pula aturannya, yang
terdorong ke luar lingkaran dinyatakan kalah. Gerak seredan berkembang menjadi
gerak adu mundur. Dalam gerakan ini yang dipergunakan adalah pundak
masing-masing, jadi tidak mempergunakan tangan atau alat apa pun. Selain itu,
ada pula yang disebut babagongan, yaitu gerakan atau ibingan para pemain yang
mempertunjukkan gerakan mirip bagong (celeng atau **** hutan), dan dodombaan
yaitu gerakan atau ibing mirip domba yang sedang berkelahi adu tanduk.
Peraturan untuk
babagongan, dogong, seredan maupun adu mundur dan dodombaan adalah melarang
pemain menggunakan tangan. Namun, karena seringnya terjadi pelanggaran,
terutama oleh pemain yang terdesak, tangan pun tak terhindarkan sering turut
sibuk, meraih dan mendorong. Oleh karena itu, dalam peraturan selanjutnya
tangan boleh dipergunakan dan terciptalah permainan baru yang disebut genjang.
Benjang sebagai
perkembangan dari permainan adu munding (kerbau), lebih mengarah pada permainan
gulat. Di dalamnya terdapat gerakan piting (menghimpit) yang dilengkapi dengan
gerak-gerak pencak silat. Apabila diperhatikan, bentuk dan gerakan seni genjang
ini termasuk seni gulat tradisional.
Tidak ada peraturan
khusus mengenai lawan atau pemain, baik berat badan, maupun tinggi rendahnya
pemain serta syarat-syarat lainnya. Sebagai pertimbangan hanyalah keberanian
dan kesanggupan menghadapi lawan. Peraturan satu-satunya adalah apabila lawan
tidak dapat membela diri dari himpitan lawannya dalam keadaan terlentang. Dalam
keadaan demikian, maka pemain tersebut dinyatakan kalah. Selanjutnya permainan
terus berjalan dengan silih berganti pasangan. Akhirnya, istilah genjang
berubah menjadi benjang.
Waditra yang
dipergunakan adalah: terebang, kendang, bedug, tarompet dan kecrek. Lagu-lagu
yang dibawakan di antaranya: Kembang Beureum, Sorong Dayung, dan Renggong
Gancang. Pertunjukan diselenggarakan di tempat terbuka, seperti halaman rumah,
dan lapangan. Pertunjukan dimulai pada malam hari pukul 20.00.
Dalam perkembangannya,
pertunjukan benjang dilengkapi dengan kesenian lain seperti badudan, kuda
lumping, bangbarongan, dan topeng benjang. Seni benjang kemudian melebar hingga
ke Desa Cisaranten Wetan, Desa Cisaranten Kulon, Kecamatan Buahbatu, Kecamatan
Majalaya, dan Kecamatan Cicadas, Kota Bandung.
Tokoh-tokoh pendiri
dan pembaharu perkembangan seni benjang adalah Mama H. Hayat (alm) dan Abah
Asrip (alm), keduanya dari Desa Cibiru, Kecamatan Ujungberung, kemudian Abah
Alwasih (alm) dari Desa Ciporeat, Kampung Ciwaru, Kecamatan Ujungberung, lalu
Mama H. Enjon (alm), seorang tokoh pencak silat yang melengkapi benjang dengan
unsur-unsur pencak silat, dan terakhir Nunung Aspali, seorang tokoh yang masih
hidup dan memimpin perkumpulan seni benjang “Putra Pajajaran” di Kecamatan
Ujungberung.
Ada suatu
keistimewaan dalam permainan banjang, disamping mempunyai teknik-teknik kuncian
yang mematikan, benjang mempunyai teknik yang unik dan cerdik atau pada keadaan
tertentu bisa juga dikatakan licik dalam hal seni beladiri, misalnya dalam
teknik mulung yaitu apabila lawan akan dijatuhkan ke bawah, maka ketika
posisinya di atas, lawan yang di angkat tadi dengan cepat merubah posisinya
dengan cara ngabeulit kaki lawan memancing agar yang menjatuhkan mengikuti arah
yang akan dijatuhkan, sehingga yang mengangkat posisinya terbalik menjadi di
bawah setelah itu langsung yang diangkat tadi mengunci lawannya sampai tidak
berkutik.
Menurut pendapat
salah seorang sesepuh benjang yang tinggal di Desa Cibolerang Cinunuk Bandung,
bahwa nama benjang sudah di kenal oleh masyarakat sejak tahun 1820, tokoh
benjang yang terkenal saat itu, antara lain H. Hayat dan Wiranta. Kemudian ia
menjelaskan mengenai asal-usul benjang adalah dari desa Ciwaru Ujungberung, ada
juga yang menyebutkan dari Cibolerang Cinunuk, ternyata kedua daerah ini sampai
sekarang merupakan tempat berkumpulnya tokoh-tokoh benjang, mereka berusaha
mempertahankan agar benjang tetap ada dan lestari, tokoh benjang saat ini yang
masih ada, antara lain Adung, Adang, Ujang Rukman, Nadi, Emun, dan masih ada
lagi tokoh yang lainnya yang belum sempat penulis catat.
Seperti kita ketahui
bahwa negara kita yang tercinta ini kaya dengan seni budaya daerah. Ini
terbukti masing-masing daerah memiliki kesenian tersendiri (khas), seperti
benjang adalah salah satu seni budaya tradisional Jawa Barat, khususnya di
Kabupaten Bandung dan ternyata di daerah lainpun ada seni budaya tradisional
semacam benjang, seperti di daerah Aceh disebut Gedou – gedou, di daerah
Tapanuli (Sumut) disebut Marsurangut, di daerah Rembang disebut Atol, di daerah
Jawa Timur disebut Patol, di daerah Banjarmasin disebut Bahempas, di daerah
Bugis/Sulsel disebut Sirroto, dan di daerah Jawa Barat disebut Benjang.